BAB.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kesehatan
memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang
dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal,
sehingga dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu
setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan
seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin
dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada
sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan
tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik
pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan
yang baik, tidak cukup ditandai denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang
hanya memungut biaya murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem
pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah
satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien,
dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana
pelayanan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal
dengan istilah rekam medis.
Rekam medis
berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta
tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien
selama menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap
sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas
pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai
pendahuluan mengenai “informed concent locum tenens”, untuk
kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi
masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Dalam
pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang
sangat penting. Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga
bagidokteragar dapat menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar
kepada pasien demi kepentingan pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam
hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi
harus dilihat dalamhubungannya dengan kewajiban pasien selaku individu yang
membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai kesehatannya, di
samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di bidang
kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan
informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter
dalam diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan
kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat
mempengaruhi perawatan pasien.
Malpraktek
tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum
profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk,
misalnya profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktek pada
umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/
kedokteran. Begitu pula dengan istilah malpraktek yang digunakan dalam skripsi
ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang
akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam
pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan
dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana
yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di dalam bidang
kedokteran.
Berkenaan
dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/
kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan
standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta
kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan
kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi
yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktek kedokteran,
masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan kesehatan maupun
kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka
derita.
Demi
mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua
pihak, dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus diproses secara hukum.
Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkantuntutan dari pihak
pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga
kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak
tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus
malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan
maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Sorotan
masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan
ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang
secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena
penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk
dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari
Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut
mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi
perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat
sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek
serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab
hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Untuk
membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana
pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek
kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai
salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan
dari uraian dalam latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1.
Apakah hukum kesehatan dan
malpraktek ?
- Bagaimanakah jenis-jenis malpraktek ?
- Bagaimanakah malpraktek kedokteran ?
- Bagaimanakah kekuatan hukum rekam medis dalam pembuktian perkara
malpraktek di bidang kedokteran berdasarkan KUHAP ?
- Bagaimanakah cara menghindari malpraktek ?
1.3. Tujuan
Penulisan.
1.
Menjelaskan pengertian hukum kesehatan .
2. Menjelaskan pengertian malpraktek.
2.
Menjelaskan jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
3.
Menjelaskan pengertian malpraktek kedokteran.
4.
Memahami aturan hukum positif di indonesia yang berkaitan dengan malpraktek.
5.
Memahami upaya pencegahan malpraktek.
BAB.11.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN DAN MALPRAKTEK MENURUT
PARA AHLI
2.1.1. Pengertian Hukum Kesehatan
Perkembangan
hukum disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di
Negara tersebut.
Menurut
H.J.J. Leenen : Hukum kesehatan melipiti semua ketentuan yang langsung
berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum
pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan
penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi
sumber hukum kesehatan.
Sedangkan
Anggaran Dasar PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan
kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik
perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan
kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam segala
aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum
kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.
2.1.2
Pengertian Malpraktek
Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau
tindakan yang salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Menurut M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir (1999: 87), malpraktek
adalah:
”kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap
kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap
hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di
bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur
operasional)”.
Menurut M.Jusuf Hanafiah & Amri Amir, yaitu:
1.
adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya;
2.
adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3.
adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal
dunia;
4.
adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat
dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
Contoh-contoh malpraktek adalah ketika
seorang dokter atau tenaga kesehatan:
a.
meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;
b.
melupakan keteter di dalam perut pasien;
c.
menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya;
d. menjahit
luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;
e.
tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.
Adapun pemikiran tentang malpraktek itu sendiri antara lain dikemukakan
oleh Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI):
para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicecoki
obat. Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien mempertanyakan resep,
dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua dari
dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian
masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi. Sedikit saja dokter
melotot, mulut pasien seolah beku terkunci. Padahal dokter juga manusia yang
bisa keliru dan karena itu butuh dicereweti.
Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004;97), ”setiap minggu ada
korban malpraktek dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan
pengawasan praktek kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus
sebagai teori diatas kertas”.
Untuk membawa kasus malpraktek ke pengadilan banyak menemui kendala.
Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu
sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua rumah sakit dan dokter dianggap mewakili
pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu
memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malpraktek ke depan
pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan
rumah sakit yang bermodal raksasa.
Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter, korban mendapatkan
ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan
publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat
malpraktek sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung
memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan
malpraktek sampai tuntas.
Akan tetapi jalan damai tidak cukup membuat para dokter jera dalam
melakukan kesalahan, karena cukup dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah,
urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu bukanlah masalah besar bagi dokter atau
rumah sakit, lain halnya bila kasusnya dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah
sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah.
Dampaknya antara lain, dokter dan rumah sakit akan kehilangan kepercayaan
dari masyarakat, yang menyebabkan dokter dan pengelola rumah sakit akan
mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis. Hal itu dikarenakan
masyarakat jarang atau bahkan tidak mau lagi berobat ke tempat praktik dokter
dan rumah sakit yang mempunyai kasus malpraktek. Hasilnya, mereka tentu bakal
berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.
Henry
campell black memberikan definisi malpraktek sebagai berikut: Malpractice is
professional misconduct on the part of a professional person such as physician,
dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the
performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or
unethical practice. (Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi
sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek adalah akibat dari sikap
tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam
melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran
hukum atau pelanggaran etika).
Sedangkan
veronica komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan
dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan dokter. Selanjutnya herman hediati koeswadji menjelaskan bahwa
malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang
berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi
medik yang mengandung ciri-ciri khusus.
Pasal 11 UU
6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative
dalam hal sebagai berikut:
a.
Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah
sebagai tenaga kesehatan.
c. Melanggar
ketentuan menurut undang-undang ini.
Pengertian
malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the
physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the
patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya
kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien,
atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi
penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).Di dalam setiap
profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan
tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice
(Lord Chief Justice, 1893).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Malpraktek Dibidang
Hukum
Untuk
malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
1.
Criminal malpractice
Perbuatan
seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.
Perbuatan tersebut (positive act maupun
negative act) merupakan perbuatan tercela.
b.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat
sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat
ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat
negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau
meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan
operasi.
Pertanggung
jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil
malpractice
Seorang
tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan
civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan.
b.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung
jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan
prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
·
Administrative
malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan
administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan
profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
·
Pembuktian Malpraktek
Dibidang Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara
langsung
Oleh
Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.
Duty (kewajiban)
Dalam
hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
1) Adanya
indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja
sesuai standar profesi
4) Sudah
ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari
kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter
untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan
dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan
dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara
tidak langsung
Cara
tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan
(doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila
fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta
tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta
itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta
itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Di
dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
1. Contractual liability
Tanggung
gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius
liability
Vicarius
liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian
pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in
tort
Liability
in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan
hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain,
akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan
dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang
lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3.2. Malpraktek Ditinjau
Dari Segi Etika dan Hukum
Masalah
dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat
berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek
medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat
intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran,
tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya,
undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi
tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap
terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan
karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang
baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk
Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik
Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika
punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian
formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan
moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf
kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,
karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi
eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung
jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff,
terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir
walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil,
profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah
sakit.
Bagi
asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan
dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk
dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek
meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja
(intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman
istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di
Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut,
hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari
luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan,
semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas
pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya
RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal,
RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus
perlindungan bagi pasien.
Secara
substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit
dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU
Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis
yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya
malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan
pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan
terhadap pasien dapat terealisasi.
3.3 Aspek Hukum Malpraktek
Hukum
itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua
sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh
dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan
(hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya
penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi
masyarakat (korban).
Sehubungan
dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk
dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama
sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang
kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang
menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau
mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau
SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat
menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang
berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP)
atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada
tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah
jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
Ada
perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana.
Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana.
Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas
kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus
dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus
sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran
hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang
timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam
hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit
atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan
matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika
dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka
ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian
kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu
kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar
pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian
yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
.3.4 Asumsi masyarakat
terhadap malpraktek
Maraknya
malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan
kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para
tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut
berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya
komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang
tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien
pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena
itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada
masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.
Sekarang
ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang
menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang
medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah
makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan
ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran
terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf),
spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan
yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah
kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum
perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa
nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik
yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui
sistem peradilan.
Salah
satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek.
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek.
Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya
penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi,
juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi
globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini
memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia,
begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan
mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat
menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup
kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya
untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta
perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini
tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama
baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran
dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya
untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi
saat ini.
3.5 Upaya
pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan
1. Upaya
pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan
adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal
praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak
hati-hati, yakni:
a.
Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b.
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.
Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan
pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila
upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila
tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat
melakukan :
a. Informal
defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang
diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa
dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal
defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Berbicara
mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan
dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas
derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk
membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi
untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.
•
Di Indonesia terdapat ketentuan informed
consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981
yaitu:
1.
Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan
medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan
pasien sendiri.
2.
Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan
informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.
Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang
bersangkutan serta resikonya.
4.
Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan
lisan atau sikap diam.
5.
Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada
keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat
dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah
penting.
6.
Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan
informed consent).
3.6.
JENIS-JENIS MALPRAKTEK.
Berpijak
pada hakekat malpraktek dalam praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang
dapat dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun
kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih
jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan
besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya
juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan
malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik
yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice),
malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical
malpractice)
John.D.Blum
merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in
whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an
act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan
bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada
pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran
oleh dokter/terguguat).
Sedangkan
rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or
lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner
is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah
perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar
dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya
kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah
merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical
malpractice)
Malpraktik
etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan
seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical
malpractice)
Malpraktik
yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
·
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. malpraktik perdata (civil malpractice)
Malpraktik
perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter
yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut
kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati
dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati
tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut
kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b.
Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik
pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi
rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan
positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin
yang slah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh
malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan
medik
b. Mengungkapkan rahasia
kedi\okteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan
kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter
yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak
benar
f. Memberikan keterangan yang tidak
benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli
·
Contoh malpraktik pidana karena
kelalaian:
a. Kurang
hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
b. Kurang hati-hati sehingga
menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative
malpractice)
Malpraktik
administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran
tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran
tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran
dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
3.7. MALPRAKTEK KEDOKTERAN.
Praktik
kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,
melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu
yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh
institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan
profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya.
Secara
teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi
suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi
masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah
profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai
dengan standar.
Sikap
profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan
perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat
luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan
ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu
"sesuai dengan tempat dan waktu", sikap yang etis sesuai dengan etika
profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan
khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban).
Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan
diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.
Undang-Undang
No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik
kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter
untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki
sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah
dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari
Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari
Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan
sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No
29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan
Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi
tenaga dokter.
Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang
penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki
STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3
tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya
di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik
diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti
yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan
tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam
medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada
bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan
pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh
penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya
dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada
bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi.
Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang
bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan
tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti
pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada
akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik
tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak
seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak
memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat
diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR
dan/atau SIP.
Undang-Undang
No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan
penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran
terbentuk.
UU
Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan
pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah
ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG;
Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara
Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI
dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat
atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Praktik,
Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam
Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai
standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi,
standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan
beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti
peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan
kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan
non medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil,
pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan
lain-lainSS
3.8 Aturan Hukum Positif Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Malpraktik
1. Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 – 360 KUHP Pidana
·
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
·
Pasal 360 KUHP
(1). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga
ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.9. CARA MENGHINDARI MALPRAKTEK DOKTER
Untuk menghindari kejadian
malpraktek, ada hal yang harus kita perhatikan, yakni diantaranya adalah:
- Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang
memiliki reputasi cukup baik. Jangan hanya mempertimbangkan jarak dengan
rumah sebagai dasar memilih tempat berobat. Jangan ragu memilih di tempat
yang jauh asalkan reputasinya bagus, meskipun di dekat rumah anda ada
layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.
- Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada
dokter yang ditunjuk untuk menangani pasien. Jangan ragu untuk meminta
dokter yang anda percayai kepada pihak manajemen, apalagi jika anda merasa
ragu dengan dokter yang menangani pasien yang anda bawa.
- Jangan takut untuk bertanya kepada dokter
mengenai tindakan medis yang dilakukan. Menurut UU Kesehatan, keluarga
pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang dilakukan dokter kepada
pasien. Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa, dasar tindakan medis
dan apa manfaat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut.
- Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat
yang diberikan kepada pasien. Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan
dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena tidak jarang ada oknum dokter
hanya mengejar komisi dari perusahaan distributor obat sehingga memberikan
obat yang lebih banyak atau bahkan tidak diperlukan kepada pasien.
Ø Kerjasama
Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktek
·
Penyebab dan
pencegahannya
Kecelakaan
(hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause),
melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu
kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi
kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita
sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi. Sementara itu
terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau
yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor
kontribusi, dll.
Active
errors terjadi pada tingkat operator garis
depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung
berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi
yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan
struktur organisasi yang buruk.
Latent
error merupakan ancaman besar bagi
keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena
sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors.
Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya
merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe
conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe
conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka
terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab
suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple
factors.
Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang
tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris
dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya,
juga secara sistemik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada
pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman
dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat
dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi
etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif – tidak hanya
kognitif.
2. Paham
materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam
pelayanan kedokteran khususnya.
3. Belum
adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi
kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran
yang diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel).
4. Belum
adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di
Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi,
perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak
tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.
Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-penyebab
di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang
membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan)
dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan
kedokteran – terutama PPDS, sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar
keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan lain-lain.
Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya
malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik
kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan
kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik,
memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai
situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara
berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum
tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang
diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence dan justice,
serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit
dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan
politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau
bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa
kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar
pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan
registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan
berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan,
sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar
perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat
ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus
diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan
rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan
rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi
kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor”
dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical
governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit
sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa
kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja
sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya
yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).
BAB.
IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ada
banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini
dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien
yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan
(trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin
kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di
Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga
medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat
diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi
masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan
dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan
medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat
menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa
atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Masih
ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan
dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui
MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya
lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya
sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom,
independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI
ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik
sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari
sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari
keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya
diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya
malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau
gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang
ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara,
seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era
globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat
malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah
malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
4.2. Saran
Terhadap
dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum
(melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh
ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi
secara perdata.
1 komentar:
Assalamualaikum
K daftar pustakanya ad?
Posting Komentar