Translate

Test Footer 1

Selasa, 07 Mei 2013

MAKALAH HUKUM KESEHATAN KHUSUSNYA MALPRAKTEK KEDOKTERAN


BAB. 1. PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Kesehatan memiliki arti yang sangat penting bagi setiap orang. Dengan kesehatan orang dapat berpikir dengan baik dan dapat melakukan aktivitas secara optimal, sehingga dapat pula menghasilkan karya-karya yang diinginkan. Oleh karena itu setiap orang akan selalu berusaha dalam kondisi yang sehat. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan melakukan berbagai cara untuk sesegera mungkin dapat sehat kembali. Salah satunya adalah dengan cara berobat pada sarana-sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tetapi, upaya penyembuhan tersebut tidak akan terwujud jika tidak didukung dengan pelayanan yang baik pula dari suatu sarana pelayanan kesehatan, dan kriteria pelayanan kesehatan yang baik, tidak cukup ditandai denganterlibatnya banyak tenaga ahli atau yang hanya memungut biaya murah, melainkan harus didasari dengan suatu sistem pelayanan medis yang baik pula dari sarana pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah dengan mencatat segala hal tentang riwayat penyakit pasien, dimulai ketika pasien datang, hingga akhir tahap pengobatan di suatu sarana pelayanan kesehatan. Dalam dunia kesehatan, catatan-catatan tersebut dikenal dengan istilah rekam medis.
Rekam medis berisi antara lain tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan serta tindakan dan pelayanan lain yang diberikan oleh dokter kepada seorang pasien selama menjalani perawatan di suatu sarana pelayanan kesehatan.
Di setiap sarana pelayanan kesehatan, rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi sebagai pendahuluan mengenai informed concent locum tenens, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
Dalam pelaksanaan pelayanan medis kepada pasien, informasi memegang peranan yang sangat penting. Informasi tidak hanya penting bagi pasien, tetapi juga bagidokteragar dapat menyusun dan menyampaikan informasi kedokteran yang benar kepada pasien demi kepentingan pasien itu sendiri. Peranan informasi dalam hubungan pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa pentingnya peranan informasi harus dilihat dalamhubungannya dengan kewajiban pasien selaku individu yang membutuhkan pertolongan untuk mengatasi keluhan mengenai kesehatannya, di samping dalam hubungannya dengan kewajiban dokter selaku profesional di bidang kesehatan. Agar pelayanan medis dapat diberikan secara optimal, maka diperlukan informasi yang benar dari pasien tersebut agar dapat memudahkan bagi dokter dalam diagnosis, terapi, dan tahapan lain yang diperlukan oleh pasien. Dengan kata lain, penyampaian informasi dari pasien tentang penyakitnya dapat mempengaruhi perawatan pasien.
Malpraktek tidak hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, melainkan kaum profesional dalam bidang lainnya yang menjalankan prakteknya secara buruk, misalnya profesi pengacara, profesi notaris. Hanya saja istilah malpraktek pada umumnya lebih sering digunakan di kalangan profesi di bidang kesehatan/ kedokteran. Begitu pula dengan istilah malpraktek yang digunakan dalam skripsi ini juga dititikberatkan pada malpraktek bidang kedokteran, karena inti yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kedudukan rekam medis dalam pembuktian perkara pidana. Agar lebih terfokus serta tetap memiliki keterkaitan dengan rekam medis, maka dilakukan pengkhususan terhadap jenis perbuatan pidana yang dimaksud dalam tema skripsi ini, yaitu malpraktek di dalam bidang kedokteran.
Berkenaan dengan kerugian yang sering diderita pasien akibat kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) para tenaga kesehatan karena tidak menjalankan praktek sesuai dengan standar profesinya, saat ini masyarakat telah memenuhi pengetahuan serta kesadaran yang cukup terhadap hukum yang berlaku, sehingga ketika pelayanan kesehatan yang mereka terima dirasa kurang optimal bahkan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atau dianggap telah terjadi malpraktek kedokteran, masyarakat akan melakukan gugatan baik kepada sarana pelayanan kesehatan maupun kepada tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya atas kerugian yang mereka derita.
Demi mewujudkan keadilan, memberikan perlindungan, serta kepastian hukum bagi semua pihak, dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus diproses secara hukum. Tentunya proses ini tidak mutlak menjamin akan mengabulkantuntutan dari pihak pasien atau keluarganya secara penuh, atau sebaliknya membebaskan pihak tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan yang dalam hal ini sebagai pihak tergugat, dari segala tuntutan hukum. Pemeriksaan terhadap dugaan kasus malpraktek kedokteran ini harus dilakukan melalui tahapan-tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk membuktikan ada/ tidaknya kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja.
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Untuk membuktikan kesalahan (kesengajaan/ kealpaan) tenaga kesehatan ataupun sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dalam dugaan kasus malpraktek kedokteran ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan rekam medis pasien sebagai salah satu sumber atau bukti yang dapat diteliti.
1.2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan dari uraian dalam latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah hukum kesehatan dan malpraktek ?
  1. Bagaimanakah jenis-jenis malpraktek ?
  2. Bagaimanakah malpraktek kedokteran ?
  3. Bagaimanakah kekuatan hukum  rekam medis dalam pembuktian perkara malpraktek di bidang kedokteran berdasarkan KUHAP ?
  4. Bagaimanakah cara menghindari malpraktek ?
1.3. Tujuan Penulisan.
1. Menjelaskan pengertian hukum kesehatan .
 2. Menjelaskan pengertian malpraktek.
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
3. Menjelaskan pengertian malpraktek kedokteran.
4. Memahami aturan hukum positif di indonesia yang berkaitan dengan malpraktek.
5. Memahami upaya pencegahan malpraktek.


















BAB.11.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1   PENGERTIAN  HUKUM KESEHATAN DAN MALPRAKTEK MENURUT PARA AHLI
2.1.1.      Pengertian  Hukum Kesehatan
Perkembangan hukum disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di Negara tersebut.
Menurut H.J.J. Leenen : Hukum kesehatan melipiti semua ketentuan yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi sumber hukum kesehatan.
Sedangkan Anggaran Dasar PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.
2.1.2 Pengertian Malpraktek
            Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
            Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir (1999: 87), malpraktek adalah:
”kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional)”.
Menurut M.Jusuf  Hanafiah & Amri Amir, yaitu:
1.   adanya unsur kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan   dalam menjalankan profesinya;
2.   adanya perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional;
3.   adanya luka berat atau mati, yang mengakibatkan pasien cacat atau meninggal dunia;
4.   adanya hubungan kausal, dimana luka berat yang dialami pasien merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medis.
      Contoh-contoh malpraktek adalah ketika seorang dokter atau tenaga kesehatan:
a.   meninggalkan kain kasa di dalam rahim pasien;
b.   melupakan keteter di dalam perut pasien;
c.   menunda persalinan sehingga janin meninggal di dalam kandungan ibunya;
d. menjahit luka operasi dengan asal-asalan sehingga pasien terkena infeksi berat;
e.   tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional.
      Adapun pemikiran tentang malpraktek itu sendiri antara lain dikemukakan oleh Kartono Mohamad (Mantan ketua IDI):
            para dokter jangan sok kuasa dan menganggap pasien cuma perlu dicecoki obat. Pasien jangan lagi mau diam, seharusnya pasien mempertanyakan resep, dosis dan jenis terapi kepada dokter dengan kritis. Cari pendapat kedua dari dokter lain sebagai pembanding. Ini memang agak susah karena sebagian masyarakat masih menilai posisi dokter begitu tinggi. Sedikit saja dokter melotot, mulut pasien seolah beku terkunci. Padahal dokter juga manusia yang bisa keliru dan karena itu butuh dicereweti.
            Sedangkan menurut Marius Widajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (Majalah Tempo, 28 Maret 2004;97), ”setiap minggu ada korban malpraktek dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, dikarenakan pengawasan praktek kedokteran di negeri ini begitu longgar dan hanya bagus sebagai teori diatas  kertas”.
Untuk  membawa kasus malpraktek ke pengadilan banyak menemui kendala. Pertama, karena pengadilan kita sedang jatuh wibawa, karena pengadilan itu sendiri seakan-akan bisa dibeli. Kedua rumah sakit dan dokter dianggap mewakili pihak yang sanggup membeli pengadilan. Ketiga, para penegak hukum belum tentu memahami teknis dan prosedur dalam mengajukan perkara malpraktek ke depan pengadilan. Tak aneh bila pasien berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan rumah sakit yang bermodal raksasa.
Berdamai memang pilihan mudah bagi korban atau dokter, korban mendapatkan ganti rugi berupa materi, sementara dokter dan rumah sakit tak perlu risau dengan publikasi bernada miring di media massa. Tapi jalan damai inilah yang membuat malpraktek sulit untuk dibawa ke pengadilan, karena selama korban cenderung memilih jalan damai, kita tidak akan pernah belajar menangani persoalan malpraktek sampai tuntas.
Akan tetapi jalan damai tidak cukup membuat para dokter jera dalam melakukan kesalahan, karena cukup dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah, urusan bisa selesai. Uang sejumlah itu bukanlah masalah besar bagi dokter atau rumah sakit, lain halnya bila kasusnya dibawa ke pengadilan, dokter dan rumah sakit akan menanggung dampak serius bila divonis bersalah.
Dampaknya antara lain, dokter dan rumah sakit akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat, yang menyebabkan dokter dan pengelola rumah sakit akan mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis. Hal itu dikarenakan masyarakat jarang atau bahkan tidak mau lagi berobat ke tempat praktik dokter dan rumah sakit yang mempunyai kasus malpraktek. Hasilnya, mereka tentu bakal berhitung panjang sebelum melakukan kesalahan.
Henry campell black memberikan definisi malpraktek sebagai berikut: Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person such as physician, dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice. (Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika).
Sedangkan veronica komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya herman hediati koeswadji menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus.
Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai berikut:
 a.  Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan.
c.  Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini.
            Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
            Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).


BAB III
PEMBAHASAN
3.1  Malpraktek Dibidang Hukum
            Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.  Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
            Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
            Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.   Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
            Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
·         Administrative malpractice
            Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.
·         Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan
            Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.      Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1)      Adanya indikasi medis
2)       Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)      Bekerja sesuai standar profesi
4)      Sudah ada informed consent.
 b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
 c. Direct Cause (penyebab langsung)
 d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.      Cara tidak langsung
            Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
            Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
3.2. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan Hukum
            Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
            Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
3.3 Aspek Hukum Malpraktek
Hukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
            Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).
            Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
            Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.

.3.4 Asumsi masyarakat terhadap malpraktek
            Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.
            Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek.
 Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
3.5 Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan

1.      Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
            Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
            Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
            Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
            Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
            Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
•  Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
3.6. JENIS-JENIS MALPRAKTEK.
            Berpijak pada hakekat malpraktek dalam praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
            John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
            Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
            Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
            Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
·         Malpraktik Yuridik meliputi:
a. malpraktik perdata (civil malpractice)
            Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
            Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli
·         Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)
Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.
3.7. MALPRAKTEK KEDOKTERAN.
            Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya.
            Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar.
            Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien).  Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu "sesuai dengan tempat dan waktu", sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.
            Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
            Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
            Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter.
            Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3 tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta mengendalikan mutu dan biaya.
Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.
Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk.
UU Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan lain-lainSS
3.8  Aturan Hukum Positif Di Indonesia Yang Berkaitan Dengan Malpraktik
1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Pasal 359 – 360 KUHP Pidana
·         Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
·         Pasal 360 KUHP
(1). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2). Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
(3). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.9. CARA MENGHINDARI MALPRAKTEK DOKTER
Untuk menghindari kejadian malpraktek, ada hal yang harus kita perhatikan, yakni diantaranya adalah:
  • Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik. Jangan hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat berobat. Jangan ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus, meskipun di dekat rumah anda ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.
  • Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk menangani pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada pihak manajemen, apalagi jika anda merasa ragu dengan dokter yang menangani pasien yang anda bawa.
  • Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan. Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang dilakukan dokter kepada pasien. Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa, dasar tindakan medis dan apa manfaat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut.
  • Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien. Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena tidak jarang ada oknum dokter hanya mengejar komisi dari perusahaan distributor obat sehingga memberikan obat yang lebih banyak atau bahkan tidak diperlukan kepada pasien.
Ø  Kerjasama Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktek

·         Penyebab dan pencegahannya

Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi. Sementara itu terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll.
Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.
Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.
            Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga secara sistemik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:
1.    Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif – tidak hanya kognitif.
2.    Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya.
3.    Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel).
4.    Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.
            Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-penyebab di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran – terutama PPDS, sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan lain-lain.
            Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
            Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence dan justice, serta sikap altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
            Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.
 Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).

















BAB. IV
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
            Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
            Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
            Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
4.2. Saran
            Terhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara perdata.

1 komentar:

Yolanda Talib mengatakan...

Assalamualaikum
K daftar pustakanya ad?