Translate

Test Footer 1

Minggu, 28 April 2013

makalah kesehatan dan keselamatan kerja (k3) di perusahaan



A.   Latar Belakang Masalah K3
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan.
Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
B. Jenis Makalah Dan Lokasi Kejadian
       Jenis makalahnya adalah makalah tentang kecelakaan kerja yang terjadi di PT Adaro,  sebuah tambang batu bara di Kalimantan Selatan pada tahun 2007. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian merupakan suatu kecelakaan yang sangat serius di industri pertambangan. Kasusnya adalah seorang juru ledak meninggal dunia  akibat terkena batuan oleh suatu peledakan dari hasil peledakan yang dikelolanya.
Sebuah makalah yang dibuat oleh peneliti dari US Mine Safety and Health Administration pada tahun 2001 menunjukkan bahwa terdapat empat kategori utama kecelakaan kerja yang berhubungan dengan peledakan, yaitu (1) keselematan dan keamanan lokasi peledakan; (2) batu terbang atau flyrock,   (3) peledakan premature (premature blasting) dan (4) misfre (peledakan mangkir)http://afandi92.multiply.com/journal/item/3 – _ftn1 .
Kasus yang terjadi di  Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja yang ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan terkena batuan hasil peledakan yang dapat dikategorikan sebagai flyrock (pada jarak yang dekat). Ini merupakan situasi yang masuk akal karena seorang juru ledak memang berada di daerah yang paling dekat dengan pusat kegiatan peledakan.
Hal ini merupakan salah satu contoh perlunya pengetahuan yang lebih mendalam dalam hal blasting management system (system pengaturan atau pengontrolan peledakan) terhadap  semua yang terlibat di dalam kegiatan peledakan.  Dalam suatu peledakan terdapat banyak hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil peledakan sesuai dengan yang diinginkan oleh tambang yang bersangkutan. Batuan yang diledakkan dalam hal ini bisa berwujud batu bara itu sendiri dan batuan penutup (overburdenand interburden).
Dalam tambang emas kita mempunyai istilah waste(sampah) dan ore (bijih emas) yang harus diledakkan untuk memudahkan pengangkutan dan pencucian atau proses permurnian bahan galian yang ditambang. Dalam kasus ini yang memegang peranan penting adalah kontrol terhadap proses penembakan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagi berikut
  • Desain peledakan. Bagian ini memegang peranan penting dalam mengurangi kecelakaan kerja yang berhubungan dengan aktivitas peledakan. Rancangan peledakan yang memadai akan mengidentifikasi jarak aman; jumlah isian bahan peledak per lubang atau dalam setiap peledakan; waktu tunda (delay period) yang diperlukan untuk setiap lubang ledak atau waktu tunda untuk setiap baris peledakan; serta arah peledakan yang dikehendaki. Jika arah peledakan sudah dirancang sedemikian rupa, juru ledak dan blasting engineer harus berkordinasi untuk menentukan titik dimana akan dilakukan penembakan (firing) dan radius jarak aman yang diperlukan. Ini perlu dilakukan supaya juru ledak memahami potensi bahaya yang berhubungan dengan broken rock hasil peledakan and batu terbang (flyrock) yang mungkin terjadi.
  • Training kepada juru ledak. Hal ini sangat penting dilakukan, karena sumber daya ini memegang peranan penting untuk menerjemahkan keinginan insinyur tambang yang membuat rancangan peledakan. Hal ini sudah diatur dalam Keputusan Menteri[2],  yang mengharuskan setiap juru ledak harus mendapatkan training yang memadai dan hanya petugas yang ditunjuk oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan yang dapat melakukan peledakan. Juru ledak dari tambang tertentu tidak diperbolehkan untuk melakukan peledakan di tambang yang lain karena Karakterisktik suatu tambang yang berbeda-beda.
  • Prosedur kerja yang memadai. Prosedur kerja atau biasa disebut SOP (Safe Operating Procedure) ini memegang peranan penting untuk memastikan semua kegiatan yang berhubungan dengan peledakan dilakukan dengan aman dan selalu mematuhi peraturan yang berlaku, baik peraturan pemerintah maupun peraturan di tambang yang bersangkutan. Prosedur ini biasanya dibuat berdasarkan pengujian resiko (risk assessment) yang dilakukan oleh tambang tersebut sebelum suatu proses kerja dilakukan. Prosedur ini mencakup keamanan bahan peledak, proses pengisian bahan peledak curah, proses perangakaian bahan peledak , proses penembakan (firing) termasuk jarak aman dan clearing daerah disekitar lokasi peledakan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori K3
K3 atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian.
Tujuan dari dibuatnya sistem ini adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Namun patut disayangkan tidak semua perusahaan memahami arti pentingnya K3 dan bagaiman mengimplementasikannya dalam lingkungan perusahaan. Dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba mengambarkan arti pentingnya K3 dan akibat hukum apabila tidak dilaksanakan.
K3 Adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang yang bekerja dalam lingkungan perusahaan, terlebih yang bergerak di bidang produksi khususnya, dapat pentingnya memahami arti kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya untuk kepentingannya sendiri atau memang diminta untuk menjaga hal-hal tersebut untuk meningkatkan kinerja dan mencegah potensi kerugian bagi perusahaan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting perusahaan berkewajiban menjalankan prinsip K3 di lingkungan perusahaannya. Patut diketahui pula bahwa ide tentang K3 sudah ada sejak 20 (dua puluh) tahun lalu, namun sampai kini masih ada pekerja dan perusahaan yang belum memahami korelasi K3 dengan peningkatan kinerja perusahaan, bahkan tidak mengetahui aturannya tersebut. Sehingga seringkali mereka melihat peralatan K3 adalah sesuatu yang mahal dan seakan-akan mengganggu proses berkerjanya seorang pekerja. Untuk menjawab itu kita harus memahami filosofi pengaturan K3 yang telah ditetapkan pemerintah dalam undang-undang.
Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yaitu:
  1.  mencegah dan mengurangi kecelakaan;
  2.  mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
  3. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
  4. memberi kesempatan atau jalan menyelematkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
  5. memberikan pertolongan pada kecelakaan;
  6. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;m
  7. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luaskan suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
  8. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikhis, peracunan, infeksi dan penularan;
  9. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
10.  menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
11.  menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
12. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
13. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
14. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau batang;
15. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
16. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan barang;
17. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
  1. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang berbahaya
  2. kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Dari tujuan pemerintah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa dibuatnya aturan penyelenggaraan K3 pada hakekatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir.
B. Dasar Hukum  Peraturan K3
Berbicara penerapan K3 dalam perusahaan tidak terlepas dengan landasan hukum penerapan K3 itu sendiri. Landasan hukum yang dimaksud memberikan pijakan yang jelas mengenai aturan apa dan bagaimana K3 itu harus diterapkan. Adapun sumber hukum penerapan K3 adalah sebagai berikut:
1)          UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2)          UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3)          PP No. 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
4)          Keppres No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja.
5)          Permenaker No. Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Semua produk perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang kewajiban dan hak Tenaga Kerja terhadap Keselamatan Kerja untuk:
  • Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
  • Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
  • Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
  • Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
  • Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya sebagai perwujudan program K3 yang ditujukan sebagai program perlindungan khusus bagi tenaga kerja, maka dibuatlah Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yaitu suatu program perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Program jamsostek lahir dan diadakan dan selanjutnya dilegitimasi dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek sebagai pengakuan atas setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Sedangkan ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi:
1)          Jaminan Kecelakaan Kerja;
2)          Jaminan Kematian;
3)          Jaminan Hari Tua;
4)          Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Program Jamsostek sebagai pengejawantahan dari program K3 diwajibkan berdasarkan Pasal 2 Ayat 3 PP No. 14 Tahun 1993 bagi setiap perusahaan, yang memiliki kriteria sebagai berikut:
1)          Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja 10 orang atau lebih;
2)          Perusahaan yang membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan (walaupun kenyataannya tenaga kerjanya kurang dari 10 orang).
Akibat hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankan program jamsostek ini adalah Pengusaha dapat dikenai sanksi berupa hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Apabila setelah dikenai sanksi tersebut si pengusaha tetap tidak mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, maka ia dapat dikenai sanksi ulang berupa hukuman kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan dan dicabut ijin usahanya, apabila pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)          Tidak memenuhi hak buruh untuk mengikuti program Jamsostek;
2)          Tidak melaporkan adanya kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam (2 hari);
3)          Tidak melaporkan kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam (2 hari) setelah si korban dinyatakan oleh dokter yang merawatnya bahwa ia telah sembuh, cacad atau meninggal dunia;
4)          Apabila pengusaha melakukan pentahapan kepesertaan program jamsostek, tetapi melakukan juga pentahapan pada program jaminan kecelakaan kerja (program kecelakaan kerja mutlak diberlakukan kepada seluruh buruh tanpa terkecuali);
Hal tersebut diatas berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No. 3 tahun 1992 & pasal 27 sub a PP No. 14 tahun 1993. Sanksi lain yang mungkin diterapkan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No. 3 tahun 1992 pada Pengusaha dapat dikenai sanksi berupa hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Apabila setelah dikenai sanksi tersebut si pengusaha tetap tidak mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, maka ia dapat dikenai sanksi ulang berupa hukuman kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan dan, apabila pengusaha melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)          tidak mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya;
2)          tidak memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahan-perubahan dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri;
3)          tidak menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jamsostek kepada Badan Penyelenggara;
4)          menyampaikan data yang tidak benar sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jamsostek;
5)          menyampaikan data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada si korban;
6)          menyampaikan data yang tidak benar sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan oleh Badan Penyelenggara;
7)          apabila pengusaha telah memotong upah buruh untuk iuran program jamsostek tetapi tidak membayarkannya kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan;
Selain sanksi-sanksi yang sudah disebutkan diatas, ada pula sanksi administratif berupa pencabutan ijin usaha seperti yang diatur dalam Pasal 47 sub a PP No. 14 tahun 1993. Peringatan ini dapat dikenakan apabila pengusaha melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
1)          tidak mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai peserta program Jamsostek kepada Badan Penyelenggara walaupun perusahaannya memenuhi kriteria untuk berlakunya program Jamsostek;
2)          tidak menyampaikan kartu peserta program jaminan sosial tenaga kerja kepada masing-masing tenaga kerja dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara;
3)           tidak melaporkan perubahan:
  • alamat perusahaan
  • kepemilikan perusahaan
  • jenis atau bidang usaha
  • jumlah tenaga kerja dan keluarganya – besarnya upah setiap tenaga kerja palling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya perubahan;
4)           tidak memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja yang         tertimpa kecelakaan;
5)          tidak melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 jam setelah ada hasil diagnosis dari Dokter Pemeriksa;
6)           tidak membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan selama tenaga kerja yang tertimpa     kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, sampai adanya penetapan dari menteri.
Pengusaha dapat pula dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar, apabila melakukan keterlambatan pembayaran iuran program Jamsostek. Selanjutnya apabila ada pengusaha yang tidak menjalankan program jamsostek padahal telah memenuhi kriteria, maka pekerja yang cepat tanggap dapat melaporkan hal ini pada  Departemen Tenaga Kerja, yang kemudian akan diadakan penyelidikan terhadap perusahaan selanjutnya ditangani oleh petugas-petugas penyelidik dalam hukum acara, yaitu:
1)          Kepolisian Republik Indonesia
2)          Pegawai negeri sipil yang mempunyai kewenangan dalam hal ini pegawai pengawas Depnaker.
BAB III
ANALISIA K3 DITEMPAT KERJA
A. Faktor Penyebab
            Penyebab Kecelakaan kerja & PAK
1.   Penyebab Langsung ( Immediate   Causes)
Penyebab langsung Kecelakaan Adalah suatu keadaan yang biasanya bisa dilihat dan di rasakan langsung, yang di bagi 2 kelompok:
A. Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) yaitu Perbuatan berbahaya dari dari manusia yang dalam bbrp hal dapat dilatar belakangi antara lain:
  1. Cacat tubuh yang tidak kentara (bodilly defect)
  2. Keletihan dan kelesuan (fatigiue and boredom)
  3. Sikap dan tingkak laku yang tidak aman
  4. Pengetahuan.
B.  Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) yaitu keadaan yang akan menyebababkan kecelakaan, terdiri dari:
  1. Mesin, peralatan, bahan.
  2. Lingkungan
  3. Proses pekerjaan
  4. Sifat pekerjaan
  5. Cara kerja
2.   Penyebab Dasar (Basic causes).
Penyebab Dasar (Basic Causes), terdiri dari 2 faktor yaitu
A.  Faktor manusia/personal (personal factor)
  • Kurang kemampuan fisik, mental dan psikologi
  • Kurangnya /lemahnya pengetahuan dan skill.
  • Stres.
  • Motivasi yang tidak cukup/salah
B.  Faktor kerja/lingkungan kerja (job work enviroment factor)
  • Factor fisik yaitu, kebisingan, radiasi, penerangan, iklim dll.
  • Factor kimia yaitu debu, uap logam, asap, gas dst
  • Factor biologi yaitu bakteri,virus, parasit, serangga.
  • Ergonomi dan psikososial.
Menurut Henrich faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts)  80 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafecondition) 20%. Menurut Suma’mur faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) 85 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) 15 %. Menurut Hastuti dan Adiatma faktor penyebab kecelakaan disebabkan oleh faktor Tindakan-tindakan tidak aman (unsafe acts) 85 % dan Kondisi yang tidak aman (unsafe condition) 10% dan faktor alam (act of god) 5%. Menurut Phoon (1988), penyebab kecelakaan sangat banyak, beraneka ragam, dan kompleks.
Faktor utama yang menyebabkan kecelakaan adalah:
  1. Lingkungan kerja
  2. Metode kerja
  3. Pekerja sendiri
Namun pada akhirnya semua kecelakaan baik langsung maupun tidak langsung, di akibatkann kesalahan manusia.
Selalu ada resiko kegagalan (risk of failures) pada setiap proses/ aktifitas pekerjaan. Dan saat kecelakaan kerja (work accident) terjadi, seberapapun kecilnya, akan mengakibatkan efek kerugian (loss). Karena itu sebisa mungkin dan sedini mungkin, kecelakaan/ potensi kecelakaan kerja harus dicegah/ dihilangkan, atau setidak-tidaknya dikurangi dampaknya.
Penanganan masalah keselamatan kerja di dalam sebuah perusahaan harus dilakukan secara serius oleh seluruh komponen pelaku usaha, tidak bisa secara parsial dan diperlakukan sebagai bahasan-bahasan marginal dalam perusahaan. Salah satu bentuk keseriusan itu adalah resourcing, baik itu finansial dan MSDM.
Secara umum penyebab kecelakaan di tempat kerja adalah sebagai berikut:
  1. Kelelahan (fatigue)
  2. Kondisi tempat kerja (enviromental aspects) dan pekerjaan yang tidak aman (unsafe working condition)
  3. Kurangnya penguasaan pekerja terhadap pekerjaan, ditengarai penyebab awalnya (pre-cause) adalah kurangnya training
  4. Karakteristik pekerjaan itu sendiri.
  5. Hubungan antara karakter pekerjaan dan kecelakaan kerja menjadi fokus bahasan yang cukup menarik dan membutuhkan perhatian tersendiri. Kecepatan kerja (paced work), pekerjaan yang dilakukan secara berulang (short-cycle repetitive work), pekerjaan-pekerjaan yang harus diawali dengan “pemanasan prosedural”, beban kerja (workload), dan lamanya sebuah pekerjaan dilakukan (workhours) adalah beberapa karakteristik pekerjaan yang dimaksud.
  6. Penyebab-penyebab di atas bisa terjadi secara tunggal, simultan, maupun dalam sebuah rangkain sebab-akibat (cause consequences chain).
Menyimak dari kecelakaaan yang terjadi di Adaro, terdapat dua hal yang menjadi penyebab langsung (immediate causes) yang menyebabkan kejadian tersebut, yaitu, jarak aman dan arah peledakan. Jarak aman pada suatu peledakan (safe blasting parameter) saat ini memang tidak mempunyai standard yang dibakukan, termasuk tambang-tambang di Australia. Di dalam Keputusan Menteri-pun, tidak dijelaskan secara detail berapa jarak yang aman bagi manusia dari lokasi peledakan. Hal ini disebabkan oleh setiap tambang mempunyai metode peledakan yang berbeda-beda tergantung kondisi daerah yang akan diledakkan dan tentu saja hasil peledakan yang dikehendaki. Akan tetapi bukan berarti setiap juru ledak boleh menentukan sendiri jarak aman tersebut. Keputusan mengenai keselamatan khususnya jarak aman tersebut berada pada seorang Kepala Teknik Tambang yang ditunjuk oleh perusahaan setelah mendapat pengesahan dari Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
Di tambang-tambang terbuka di Indonesia, jarak aman terhadap manusia boleh dikatakan hampir mempunyai kesamaan yaitu dalam kisaran 500 meter. Dari mana jarak ini diperoleh? Jelas seharusnya dari hasil risk assessment (pengujian terhadap resiko) yang telah dilakukan di tambang-tambang tersebut. Risk assessment ini tidak saja berbicara secara teknik peledakan dan pelaksaannya, namun perlu juga dimasukkan contoh-contoh hasil perbandingan dari tambang-tambang yang ada baik di dalam ataupun luar negeri. Jarak aman dari hasil risk assessment inilah yang seharusnya menjadi acuan bagi pembuatan prosedur kerja dalam lingkup pekerjaan peledakan di lapangan. Walaupun ada beberapa tambang yang membuat standard yang lebih kecil dari 500 meter; tapi hal itu diperbolehkan sepanjang risk assessment sudah dilakukan dan sudah disetujui oleh Kepala Teknik Tambang yang bersangkutan. Biarpun tidak menutup kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap jarak aman dari peledakan, akan tetapi seorang juru ledak yang kompeten semestinya akan mentaati aturan dan prosedur kerja. Pelanggaran prosedur kerja akan berakibat fatal, baik bagi diri dia sendiri, teman kerja maupun ada perusahaan tempat dia bekerja.
B. Cara Penanganan Dari Segi Hukum Kesehatan.
Membicarakan aspek hukum tentang kesehatan kerja pada masa kini harus diketahui pula tentang program Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Program ini sangat penting untuk tenaga kerja yang bukan pegawai negeri sipil dan anggota ABRI.
Program ini dilaksanakan berdasarkan pengalaman banyaknya korban yang terjadi akibat kecelakaan kerja yang mendatangkan kerugian bark jasmani maupun rohani. Karena itu, pemerintah membuat satu jaminan sosial bagi pekerja yang dapat kecelakaan pada waktu melakukan pekerjaan di suatu perusahaan.
Jaminan sosial ini bertujuan memberikan perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi yang menimpa pekerja. Ketentuan pokok mengenai jaminan sosial ini diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 1969. Salah satu dari jaminan ini adalah program Astek. Menunit Peraturan Pemerintah RI No. 33 tahun 1977 tentang Astek, programnya adalah berupa Asuransi Kecelakaan Kerja, Asuransi Tabungan Hari Tua dan Asuransi Kematian.
Dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini dijelaskan bahwa setiap perusahaan wajib menyelenggarakan program Astek. Dengan demikian, program ini akan memberikan jaminan terhadap kecelakaan, penyakit atau kematian yang timbul dan dengan hubungan kerja.
Ada pula Undang-undang Kecelakaan diumumkan tahun 1947, undang-undang ini dinyatakan berlaku pada tahun 1951. Undang-undang kecelakaan ini disebut juga Undang-undang Kompensasi Pekerja (Workmen Compensation Law) mengatur tentang penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
Beberapa pasal yang patut diketahui antara lain adalah:
  1. Di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan berkewajiban membayar ganti rugi kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan itu.
  2. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan.
  3. Jikalau buruh meninggal dunia akibat kecelakaan yang demikian itu, kewajiban membayar kerugian itu berlaku terhadap keluarga yang ditinggalkannya.
  4. Dan seterusnya.
Penanganan yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah pengantirugian atas tewas nya para pekerja. Perusahaaan wajib memberikan tunjangan atau ganti rugi pada pihak keluarga yang ditinggalkan berdasarkan ketentuan perusahaan. Dan apabila perusahaan ikut jamsostek maka jamsostek juga ikut memberi ganti rugi atau tunjangan pada keluarga korban.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya dunia industri, dunia kerja selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang harus bisa segera diatasi bila perusahaan tersebut ingin tetap eksis. Berbagai macam tantangan baru muncul seiring dengan perkembangan jaman. Namun masalah yang selalu berkaitan dan melekat dengan dunia kerja sejak awal dunia industri dimulai adalah timbulnya kecelakaan kerja.
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Kerugian yang langsung yang nampak dari timbulnya kecelakaan kerja adalah biaya pengobatan dan kompensasi kecelakaan. Sedangkan biaya tak langsung yang tidak nampak ialah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan yang lebih baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu kerja. Jumlah kerugian materi yang timbul akibat kecelakaan kerja sangat besar. Tentu saja perusahaan-perusahaan tersebut tidak tinggal diam dalam menghadapi angka kecelakaan yang begitu besar. Perusahaan-perusahaan banyak mengeluarkan dana setiap tahun untuk meningkatkan keselamatan di lingkungan perusahaan agar angka kecelakaan kerja yang tinggi bisa diatasi. Dana yang besar tersebut digunakan terutama untuk menambah alat-alat keselamatan kerja (alat pemadam kebakaran, rambu-rambu, dll), memperbaiki proses produksi agar lebih aman dan meningkatkan sistem manajemen keselamatan kerja secara keseluruhan. Dalam beberapa tahun terakhir memang upaya tersebut bisa mengurangi angka kecelakaan kerja. Namun masih jauh untuk mencapai angka kecelakaan kerja yang minimal.
Kenyataan bahwa ternyata perbaikan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut belum bisa menurunkan angka kecelakaan kerja seminimal mungkin membuat para ahli dibidang industri bertanya-tanya faktor apakah yang terlupakan dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
Kasus yang terjadi di  Adaro merupakan salah satu jenis kecelakaan kerja yang ditenggarai disebabkan oleh arah peledakan (keselamatan peledakan) dan terkena batuan hasil peledakan.
Perusahaan wajib memberikan ganti rugi kepada pihak keluarga korban sebagai kompensasi berdasarkan uu yang telah berlaku.
B. Saran
Dalam penyelenggaran K3 ada 3 (tiga) hal penting yang harus diperhatikan:
Pertama, seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
Kedua, pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3, serta keterlibatan (dukungan) serikat pekerja dalam program K3 di tempat kerja.Ketiga, kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.
Adapun hal lain yang tak kalah pentingnya agar program K3 dapat terlaksana, adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi program bahkan melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama pekerja yang terkena musibah kecelakaan kerja.
Bila terjadi hal demikian, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
  1. Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.
  2. Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
  3. Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
  4. Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
  5. Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
  6. Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).
  7. Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
  8. Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
  9. Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada pihak yang berwenang.
10. Membuat satuan kerja yang terdiri atas orang yang berkompeten dalam penanganan kecelakaan di area terjadi kecelakaan kerja.
Inti dari terlaksananya K3 dalam perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa kombinasi aturan, sanksi dan benefit dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan acuan/pedoman bagi pekerja dan pengusaha.
Daftar pustaka
Morison, MJ , 1992, A.colour guide to the nursing management of wounds, alih bahasa Monica Ester ,Jakarta :EGC
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996).

Tidak ada komentar: